Suatu hari aku bertanya-tanya, apakah hal terpenting yang dapat membuatku dapat lulus sekolah, Aku mulai melakukan pencarian, pemikiran, dan penulusuran.
Aku menuju ke plaza, semua terasa sunyi tak berisi, suasana hampa membuka mata, hanya beberapa orang yang masih berkumpul, membentuk lingkaran dan membicarakan halnya masing-masing. Ku duduk di bangku coklat dan menatap jam bulat berwarna abu bergerak seakan tarsus menemani kesepian hatiku, detik demi detik yang pergerakannya membuat detakan yang jika di fokuskan dapat membuat ketukan irama. Lalu sesaat aku terfikiri apakah jam ini adalah bagian terpenting penentu kelulusan, karena andai saja jika jarum panjang jam ini menunjukkann angka lebih dari angka 6 pada saat pukul 6 pagi, maka aku akan terlambat dan otomatis nilai ku akan turun karenanya, dan jika nilaiku turun berarti aku tidak lulus, jadi aku yakin jam ini adalah penentu kelulusan.
Keesokan harinya aku datang terlambat dan aku menyadari hal itu benar, jam itu adalah penentu kelulusan!, lalu saat pulang sekolah, aku ambil jam itu dan kusembunyikan di tempat yang aman.
Beberapa hari kemudian aku datang terlambat dan aku beralasan bahwa tidak ada bukti aku terlambat, dan kutunjuk lokasi awal jam utama yang ku sembunyikan, “tuh kan, mana buktinya?”, lalu pak guru segera menyodorkan jam tangannya, tanpa berkata apapun, aku menyadari bahwa jam itu bukan penentu kelulusan, dan pada pulang sekolah, aku kembalikan ke tempat asalnya.
Pada hari berikutnya aku mulai penasaran kembali, dan aku mulai pencarianku kembali tentang hal penentu kelulusan, ketika ku sedang berfikir sambil berjalan, aku hamper saja menginjak buku matematika yang ada tiga bekas pijakan sepatu pada sudut yang berbeda, lalu aku mendapat pemikiran, bahwa buku sekolah ini, adalah penentu kelulusan, karena tanpa buku ini, kita tak pernah dapat belajar.
Lalu keesokan harinya, aku menemui sahabatku dan memamerkan gagasanku mengenai penentu kelulusan, “eh, gw tau penentu kelulusan, buku! Tanpa buku kita g bisa blajar”, sahabatku menjawab “hahaha, coba pikir deh, kenapa ada guru kalo buku aja udah cukup?”, mukaku langsung memerah malu dan aku langsung diam.
Aku langsung merundingkan bersama sahabatku, “aduh.. apa ya penentu kelulusan, hmm, oh iya! Orang tua, tanpa orang tua kita g bakal bisa, tanpa doanya kita g pernah bisa juga, jadi pasti orang tua kita penentu kelulusan”, sahabatku tertawa “hahaha, aduh gimana sih, kenapa coba mikir jauh-jauh, emang bener sih, doa orang tua itu emang penting, tapi ada yang lebih penting”,”hah? Emang apa?”, sahabatku menunujuk ke hulu hatiku “kamu sendiri, aduh, kamulah penentu kelulusan, semua ada pada dirmu sendiri, dirimu lah segalanya”
By:Black(Ozzy)
(Azhar Rhozaq A)
0 comments:
Post a Comment